Senin, 01 Juni 2009

Fenomena Sexy Dancer di Yogyakarta

Sexy dancer. Terdengar tabu di telinga. Namun tenyata profesi ini sudah banyak digeluti oleh kaum hawa yang kebanyakan adalah mahasiswi. Sexy dancer merupakan side job yang cukup menggiurkan bagi sebagian mahasiswi di Yogyakarta.

Profesi sebagai sexy dancer biasanya banyak ditemui di klub-klub malam. Sexy dancer sering diindentikkan dengan pakaian yang super mini dan gerakan-gerakan erotis. Keberadaan sexy dancer sendiri memang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan sexy dancer sering tampil dengan busana yang cukup sexy. Rere, salah satu sexy dancer kenamaan Yogyakarta yang sudah sering malang melintang di panggung hiburan klub-klub malam mengungkapkan bahwa menjadi seorang sexy dancer punya nilai interest tersendiri. ” Menjadi sexy adalah hobi saya. Saya sangat menikmati profesi ini. Memang sih, jam tidur saya jadi terbalik, malam buat manggung, siang buat tidur, tapi saya senang, honornya lumayan. ’ ungkapnya. Dalam sekali perform, Rere dapat mangantongi uang sekitar 150 ribu rupiah. Bayaran yang cukup lumayan bukan.

Namun sebagai sexy dancer juga harus dituntut memiliki prinsip yang kuat. ”sexy dancer kan kerjanya di klub malam, kita juga diharuskan memakai kostum yang sexy. Makanya, banyak sekali orang yang suka menggoda. Tapi pintar-pintar kita saja untuk menghindari. Walaupun sexy dancer, bukan berarti kita juga jual diri. ” kata Rere. Sexy dancer memang sering dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Ini dikarenakan lingkungannya yang berdekatan dengan gaya hidup hedonis. Sejatinya, bagi orang yang melihat dari sisi seni, sexy dancer merupakan seni koreografi yang membutuhkan perpaduan yang harmonis. Dibutuhkan penjiwaan juga dalam memainkan koreonya.


LENTERA

Rabu, 27 Mei 2009

Flu Babi Oh Flu Babi

Akhir bulan April 2009 ini, dunia dikejutkan dengan datangnya virus flu babi. Flu babi diperkirakan adalah flu yang mematikan karena perpaduan antara flu burung, flu babi dan manusia. Penyakit ini disinyalir muncul pertama kali di negara Amerika bagian selatan tepatnya di Meksiko. Fenomena ini kemudian membuat pimpinan WHO, Margareth Chan membuat langkah antisipasi kepada dunia. Beliau memaparkan langkah-langkah strategis demi menyikapi pandemi flu babi ini. Flu babi yamg berkode H1N1 telah merenggut banyak korban jiwa. Di meksiko sendiri setidaknya memakan 83 jiwa, dan 1 orang meninggal di USA. Kemudian virus flu babi ini juga menginfeksi 1.516 orang dari seluruh dunia.  
Flu babi terus menjalar kemana saja. Secara tidak langsung, flu babi ini juga telah ikut mengubah tatanan dunia khususnya dalam sector ekonomi. Tidak dipungkiri, banyak maskapai penerbangan yang telah merugi akibat tiket menuju Meksiko akhirnya dibatalkan. Jumlah pengunjung negara tersebut juga menurun drastic. Belum selesai masalah krisis finansial global, dunia dibuat repot oleh hadirnya pandemi flu babi yang ternyata membawa dampak cukup hebat, tidak hanya bag dunia kesehatan namun juga perekonomian.  


Selasa, 12 Mei 2009

Pemilu dan Kapitalisme Media

Kapitalisme media telah menggeser fungsi media sebenarnya. Yaitu sebagai saluran informasi, pendidikan, dan juga hiburan. Namun dimasa pemilu media telah dipenuhi iklan-iklan partai politik yang tidak sedikit mengeluarkan dana. Apakah media hanya mementingkan keuntungan semata?

Masa kampanye lalu dimana partai politik banyak mengeluarkan dana untuk belanja iklannya disambut baik oleh media massa. Bagaimana tidak? Dari belanja iklan itulah media mendapatkan cukup banyak keuntungan. Bahkan salah satu TV swasta sempat diperingatkan karena terlalu sring menampilkan iklan salah satu partai baru.

Memang benar keuntungan media salah satunya didapat dari iklan. Iklan-iklan partai politik menghabiskan bermilyar rupiah. Partai Golkar menghabiskan Rp. 5 Milyar dan Gerindra mengeluarkan rata-rata Rp. 9 milyar untuk belanja iklannya. Siapa yang akan menolak tawaran besar ini. Namun terkadang masyrakat mendapatkan kesan bahwa stasiun TV memihak kepada salah satu partai. Hal ini tidak baik karena akan berpengaruh kepada reputasi media. Media seharusnya bisa netral.

Tidak mudah memang menolak proyek jutaan bahkan milyaran rupiah. Untuk itu adanya aturan-aturan yang membatasi media dalam menayangkan iklan parpol. Sehingga porsi berita dan iklan bisa seimbang. Disisi lain media harus kembali pada ideologi media itu sendiri. Tidak hanya memikirkan keuntungan semata tapi berpihak kepada rakyat. Rakyat membutuhkan informasi mengenai caleg yang berkualitas. Bukan hanya iklan-iklan yang mengobral janji.

Rabu, 06 Mei 2009

Koalisi yang Rapuh

Persaingan politik kian memanas seiring dengan semakin dekatnya pemilihan presiden pada bulan Juli mendatang dan banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti. Ranah politik seakan sedang mengalami peperangan yang sengit.

Mereka berlomba-lomba membentuk koalisi demi tercapainya ambisi menjadi penguasa negeri ini. Apalagi dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan presiden dan wakilnya misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.
Partai-partai besar seperti PDI-P, Golkar, Gerindra, Hanura, PPP, PAN mulai merapatkan barisan membentuk koalisi besar enam partai untuk menantang koalisi Pro-Cikeas. Namun koalisi besar tersebut terancam buyar, enam partai yang semula hendak menantang SBY tidak menemukan titik temu, apalagi setelah Golkar dan Hanura mendeklarasikan pasangan Jk-Wiranto.
Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri, dan tahan lama. Tetapi, semua partisipan berlomba untu menjadi pemenang, tanpa memperhatikan bahwa rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisi lainnya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi perpecahan, berbalik melawan.
Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.
Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-Hanura saat ini, koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai besar sehingga mudah mencapai suara mayoritas. Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi.
Pemilu seharusnya merupakan jalan bagi Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah. Dengan mempunyai wakil rakyat pilihan yang berkualitas, berdedikasi penuh kepada rakyatnya, dan membangun pemerintahan yang kuat, mensejahterakan rakyat. Bukannya malah dijadikan ajang permainan politik yang penuh dengan intrik dan hanya berorientasi pada kekuasaan semata.

Selasa, 05 Mei 2009

Koalisi, Kemana Arahnya?

Koalisi, Kemana Arahnya?

Pemilu presiden yang akan dilaksanakan ternyata mengundang berbagai macam polemik dikalangan elite politik. Partai-partai yang saling berkoalisi sepertinya malah tidak memberikan suatu penyelesaian yang berupa kerja sama.

Seperti halnya partai golkar yang pada awalnya bersekutu dengan partai democrat pada akhirya ‘bercerai’. Kemudian golkar mengambil langkah yang tidak terduga dengan merapat ke kubu megawati. Namun pada akhirnya Jusuf Kalla justru berkoalisi dengan Wiranto uang di usung sebagi Cawapresnya. Manuver-manuver politik semacam itulah yang terjadi sekarang ini. Situasi yang tidak menentu dan rancu menimbulkan kesan yang rumit kepada masyarakat. Tak heran, masyarakat menjadi apathies akan tingkah polah para petingginya.

Manuver politik dilakukan dalam upaya untuk menghimpun kekuatan untuk kemenangan dalam Pemilu presiden Juli mendatang. Namun, pada kenyataannya kesan yang ditimbulkan adalah sikap tidak konsisten partai politik atas statement-statement yang muncul.

Lalu sebenarnya mau ke arah mana koalisi ini. Sebagai elite politik yang memiliki tanggung jawab atas masa depan WNI, seyogyanya mereka harus mengambil langkah bijaksana. Hal ini sangat berkaitan dengan kredibilitas partai politik itu sendiri. Timbulnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap partai politi yang berkoalisi berdampak pada kesuksesan dalam Pemilu presiden mendatang. Seharusnya para Capres dan Cawapres yang saling berkoalisi bisa mengambil langkah yang bijak dan jelas.

Kamis, 30 April 2009

KOALISI, TINGGALKAN SEJENAK HARGA DIRI

Koalisi kini menjadi agenda rutin para pimpinan kita. Diajang penguatan suara ini mulai tampak ketidak konsistenan bibir penguasa kita. Dan ketika harga diri mereka seolah tidak ada harganya.

Perolehan suara Demokrat masih berada pada puncak teratas. Hasil perolehan suara partai yang tahun lalu menang ini tampaknya membuat beberapa lawan politiknya gerah. Tak ingin patah arang, beberapa partai lain mencoba untuk bertahan dengan koalisi. Satu-satunya cara menguatkan suara dengan menggabungkan dua partai yang memiliki kekurangan suara.

Dua pertempuan partai besar beberapa waktu lalu cukup menarik perhatian masyarakat. PDI-P – Golkar, dan Demokrat –PKB merupakan paratai kuat yang memiliki persaingan cukup sengit. Demi memperoleh kursi kekuasaan tampaknya hal biasa jika menhalalkan segala cara.

Kehilangan harga diri dan ambisi merupakan kawan sejati yang menemani pimpinan kita saat ini. Ambisi untuk mendapatkan kemenangan sempat menutup mata mereka sehingga lupa pada komitrmen dan harga diri. Kalla, salah satu figur calon pemimpin yang hampir tidak punya harga diri ketika harus menjlat ludahnya sendiri. Mantan duet SBY yang diawal pemilu kemarin menyatakan tidak mau dipasangkan dengan SBY ini belum lama kemarin mengatakn bersedia lagi disandingkan dengan SBY.

Pernyataan kalla ini cukup membuat malu partai Golkar. Akbar Tanjung menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Kalla yang tidak konsisten dan merendahkan harga diri partai.

Keadaan seperti ini tentu saja sangat tidak baik bagi perkembangan politik masa depan. Koalisi seakan menjadi harga mati untuk mencapai kursi pemerintahan. Menggabungkan dua partai yang berebeda dengan visi dan misi yang tidak sama. Secara logika, bagaimana mungkin duet pimpinan kita berasal dari dua partai berbeda yang tentunya memiliki ideologi yang berbeda. Bahkan ketika harus menerima kenyataan perolehan suara tidak sesuai harapan, saling tuding kecurangan menjadi cermin ketidakbijaksanaan para pimpinan kita.

Saat koalisi menemuai jalan buntu dengan siapakah akan bergabung, pimpinan partai sama sekali tidak bertanya pada masyarakat. Masrakat lah yang sangat menentukan kemenangan mereaka. Sangat ironis jika rakyat justru dilupakan dan tidak mencoba bertanya pada aspirasi rakyat. Sikap pimpinan kita yang sangat ambisius dalam memperebutkan kursi bisa memunculkan framing bagi masyarakat. Agaiman bisa memimpin rakyat dengan baik jika mereka saja tidak bisa konsisten dengan prinsip sendiri.

Para pemimpin seharusnya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk maju kekursi pemerintahan. Menanyakan kepada rakyat dengan mengadakan poling pemilihan koalisi yang diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif. Karena semua juga dikembalikan dari rakyat dan untuk rakyat. Semoga saja hasil koalisi dan pemilu nanti akhirnya menghasilkan pimpinan yang terbaik bagi rakyat. Karena apapun yang saat ini sedang berlangsung haruslah demi kesejahteraan rakyat.

BERTAHAN DENGAN ASONGAN

” Semoga dagangan saya laris dan barokah biar anak bisa terus sekolah. Biar anak saya tidak hidup susah kayak bapaknya”. Setitik harapan seorang pedagang asongan yang bertahan hidup dengan asongan.

Tugiyo, lelaki setengah abad ini sudah mengadu nasib di Jogja selama 28 tahun. Kuli bangunan menjadi pekerjaan pilihannya saat pertama kali datang ke Jogja. Penghasilannya sebagai buruh tani di Wonosari dirasa tidak cukup untuk menghidupi keluarganya sehingga memutuskan untuk pergi ke kota gudeg ini. ”Jadi buruh tani itu hasilnya tidak cukup mba. Belum lagi nanti kalau gagal panen, saya tidak dapat apa-apa.” Awal tahun 1980-1999 bapak tiga anak ini setia menjadi kuli bangunan. Usia mulai memupus kekuatan fisik Tugiyo sehingga tak mampu lagi menjadi kuli bangunan.

Dapur tidak mengepul jika bapak tua ini tidak bekerja. Modalnya yang cukup sedikit digunakan untuk berjualan asongan di daerah Malioboro. Rokok, tisu, permen, dan korek ia jajakan setiap hari demi sesuap nasi baginya dan anak istri di kampung.


Anak pertamanya sudah menginjak kelas 1 smp dan Tugiyo harus berjualan dengan keras untuk biaya sekolah anaknya. Rumah petak ukuran 3x4 di Tukangan adalah tempat Tugiyo beristirahat yang cukup dekat dengan Malioboro. ”Saya ngontrak di situ biar tidak jauh jalan. Maklum saya sudah tua, kalau jauh-jauh harus naik angkot, uangnya eman-eman.” ujar pria yang selalu ceria ketika menjajakan asongannya.


Keuntungan yang diperoleh dari berjualan asongan memang tidak terlalu besar. Paling sedikit dalam satu hari Tugiyo bisa mengantongi Rp 5000,-. Namun jika musim liburan tiba bisa mencapai Rp 50.000,-. ”Saya senang kalau musim libur. Banyak yang beli rokok, tisu, sama permen. Jadi pas pulang nanti, bisa bawa uang untuk bayar sekolah dan makan.”


Setiap dua bulan sekali pria yang wajahnya sudah tampak keriput ini pulang ke Wonosari membawa uang untuk anak istrinya. Tugiyo tidak pernah menyesali kehidupannya yang tidak seberuntung orang-orang yang berkecukupan. ”Gusti Allah itu adil mba. Pasti rejeki kita sudah diatur. Kita tinggal menjalani saja yang ada di depan kita.” . Saat ditanya tentang harapan hidupnya kedepan penjaja asongan ini menjawabnya dengan tersenyum dan berkata,” Semoga dagangan saya laris dan barokah biar anak bisa terus sekolah. Biar anak saya tidak hidup susah kayak bapaknya”.