Kamis, 30 April 2009

KOALISI, TINGGALKAN SEJENAK HARGA DIRI

Koalisi kini menjadi agenda rutin para pimpinan kita. Diajang penguatan suara ini mulai tampak ketidak konsistenan bibir penguasa kita. Dan ketika harga diri mereka seolah tidak ada harganya.

Perolehan suara Demokrat masih berada pada puncak teratas. Hasil perolehan suara partai yang tahun lalu menang ini tampaknya membuat beberapa lawan politiknya gerah. Tak ingin patah arang, beberapa partai lain mencoba untuk bertahan dengan koalisi. Satu-satunya cara menguatkan suara dengan menggabungkan dua partai yang memiliki kekurangan suara.

Dua pertempuan partai besar beberapa waktu lalu cukup menarik perhatian masyarakat. PDI-P – Golkar, dan Demokrat –PKB merupakan paratai kuat yang memiliki persaingan cukup sengit. Demi memperoleh kursi kekuasaan tampaknya hal biasa jika menhalalkan segala cara.

Kehilangan harga diri dan ambisi merupakan kawan sejati yang menemani pimpinan kita saat ini. Ambisi untuk mendapatkan kemenangan sempat menutup mata mereka sehingga lupa pada komitrmen dan harga diri. Kalla, salah satu figur calon pemimpin yang hampir tidak punya harga diri ketika harus menjlat ludahnya sendiri. Mantan duet SBY yang diawal pemilu kemarin menyatakan tidak mau dipasangkan dengan SBY ini belum lama kemarin mengatakn bersedia lagi disandingkan dengan SBY.

Pernyataan kalla ini cukup membuat malu partai Golkar. Akbar Tanjung menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Kalla yang tidak konsisten dan merendahkan harga diri partai.

Keadaan seperti ini tentu saja sangat tidak baik bagi perkembangan politik masa depan. Koalisi seakan menjadi harga mati untuk mencapai kursi pemerintahan. Menggabungkan dua partai yang berebeda dengan visi dan misi yang tidak sama. Secara logika, bagaimana mungkin duet pimpinan kita berasal dari dua partai berbeda yang tentunya memiliki ideologi yang berbeda. Bahkan ketika harus menerima kenyataan perolehan suara tidak sesuai harapan, saling tuding kecurangan menjadi cermin ketidakbijaksanaan para pimpinan kita.

Saat koalisi menemuai jalan buntu dengan siapakah akan bergabung, pimpinan partai sama sekali tidak bertanya pada masyarakat. Masrakat lah yang sangat menentukan kemenangan mereaka. Sangat ironis jika rakyat justru dilupakan dan tidak mencoba bertanya pada aspirasi rakyat. Sikap pimpinan kita yang sangat ambisius dalam memperebutkan kursi bisa memunculkan framing bagi masyarakat. Agaiman bisa memimpin rakyat dengan baik jika mereka saja tidak bisa konsisten dengan prinsip sendiri.

Para pemimpin seharusnya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk maju kekursi pemerintahan. Menanyakan kepada rakyat dengan mengadakan poling pemilihan koalisi yang diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif. Karena semua juga dikembalikan dari rakyat dan untuk rakyat. Semoga saja hasil koalisi dan pemilu nanti akhirnya menghasilkan pimpinan yang terbaik bagi rakyat. Karena apapun yang saat ini sedang berlangsung haruslah demi kesejahteraan rakyat.

BERTAHAN DENGAN ASONGAN

” Semoga dagangan saya laris dan barokah biar anak bisa terus sekolah. Biar anak saya tidak hidup susah kayak bapaknya”. Setitik harapan seorang pedagang asongan yang bertahan hidup dengan asongan.

Tugiyo, lelaki setengah abad ini sudah mengadu nasib di Jogja selama 28 tahun. Kuli bangunan menjadi pekerjaan pilihannya saat pertama kali datang ke Jogja. Penghasilannya sebagai buruh tani di Wonosari dirasa tidak cukup untuk menghidupi keluarganya sehingga memutuskan untuk pergi ke kota gudeg ini. ”Jadi buruh tani itu hasilnya tidak cukup mba. Belum lagi nanti kalau gagal panen, saya tidak dapat apa-apa.” Awal tahun 1980-1999 bapak tiga anak ini setia menjadi kuli bangunan. Usia mulai memupus kekuatan fisik Tugiyo sehingga tak mampu lagi menjadi kuli bangunan.

Dapur tidak mengepul jika bapak tua ini tidak bekerja. Modalnya yang cukup sedikit digunakan untuk berjualan asongan di daerah Malioboro. Rokok, tisu, permen, dan korek ia jajakan setiap hari demi sesuap nasi baginya dan anak istri di kampung.


Anak pertamanya sudah menginjak kelas 1 smp dan Tugiyo harus berjualan dengan keras untuk biaya sekolah anaknya. Rumah petak ukuran 3x4 di Tukangan adalah tempat Tugiyo beristirahat yang cukup dekat dengan Malioboro. ”Saya ngontrak di situ biar tidak jauh jalan. Maklum saya sudah tua, kalau jauh-jauh harus naik angkot, uangnya eman-eman.” ujar pria yang selalu ceria ketika menjajakan asongannya.


Keuntungan yang diperoleh dari berjualan asongan memang tidak terlalu besar. Paling sedikit dalam satu hari Tugiyo bisa mengantongi Rp 5000,-. Namun jika musim liburan tiba bisa mencapai Rp 50.000,-. ”Saya senang kalau musim libur. Banyak yang beli rokok, tisu, sama permen. Jadi pas pulang nanti, bisa bawa uang untuk bayar sekolah dan makan.”


Setiap dua bulan sekali pria yang wajahnya sudah tampak keriput ini pulang ke Wonosari membawa uang untuk anak istrinya. Tugiyo tidak pernah menyesali kehidupannya yang tidak seberuntung orang-orang yang berkecukupan. ”Gusti Allah itu adil mba. Pasti rejeki kita sudah diatur. Kita tinggal menjalani saja yang ada di depan kita.” . Saat ditanya tentang harapan hidupnya kedepan penjaja asongan ini menjawabnya dengan tersenyum dan berkata,” Semoga dagangan saya laris dan barokah biar anak bisa terus sekolah. Biar anak saya tidak hidup susah kayak bapaknya”.

Rabu, 29 April 2009

Nostalgia Bersama Zamzani


Terdengar lirih suara lagu era 80’an di pertigaan jalan antara Pasar Bringharjo dengan Jalan Malioboro. Suara lagu itu selalu berganti setiap saat dan orang orang silih berganti menghampiri asal suara lagu tersebut.



Seorang bapak tua duduk diantara tumpukan kaset-kaset bekas itu dan dilangkapi dengan seperangkat speker yang seadanya. Senyum kecilnya kadang tercipta jika ada pembeli ada yang menawar harga dagangannya dengan sesuka hati. Dia adalah Bapak Zamzani, pria asal Padang ini sudah 24tahun berjualan kaset bekas di kawasan Bringharjo. Ia harus melakoni pekerjaan itu atas inisiatifnya untuk mencari penghasilan di kota perantaunnya ini, Jogjakarta. Dengan penghasilan rata-rata 20 ribu rupiah perhari dia harus menghidupi satu orang istri dan tiga orang anak. Dengan usianya yang sudah melebihi setangah abad dia masih gigih untuk bekerja, setiap paginya dia berangkat dari rumahnya di kawasan Notoprajan. Dalam satu hari Bapak Zanzani dapat menjual rata-rata 10 kaset dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam. Kaset yang di jualnya adalah kaset lama atau bekas, ia menjual rata-rata Rp 8000 untuk lokal dan Rp 12.000 untuk barat. “Makin tua makin mahal,” kata Bapak Zanzani. Ia mengaku pernah menjual kaset Koes Plus rekaman pertama seharga 25 ribu. “Sebagai penjual kita harus mengerti barang mana yang memliki harga tinggi dan mana yang tidak,” tambahnya. Asam manis berjualan kaki lima pernah dialaminya, mulai dari pemalakan dan juga kaset kaset yang sering hilang. Namun saat ini sudah tidak pernah setelah Pasar Bringharjo mengalami renovasi. Dan sebuah kebanggan saat orang yang mendapatkan kaset tua yang dicarinya pada lapak dagangannya.

Pak Ngadimin dan Barang Bekasnya..

Barang bekas mungkin bukan di bilang barang yang cukup mahal, tetapi di dalam Pak ngadimin hadiwiryono (69) tahun ini bekerja di emperan pasar beringharjo yang menjual barang-barang dengan bermodalkan barang bekasnya mungkin bisa dibilang buat menghidupi kebutuhan hidupnya. Kini Pak ngadimin harus membiayai keluarganya dan 6 anaknya. Bapak yang berusia cukup di bilang tua ini sudah mulai berjualan barang barang bekas sejak tahun 40an. Pada sekitar tahun 63-70an masih bisa di bilang ramai dari tahun-tahun sekarang, yang mulai dari tahun 2000an sudah mulai sepi. Dengan keadaan yang sepi sekarang ini pak ngadimin berpenghasilan sekitar 10rb perhari, dari uang yang di dapatkan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama istri dan satu anaknya yang masih duduk di bangku sekolah.” untungnya lima anak saya sudah menikah” kata pak ngadimin. Pertama kali mulai bekerja sebagai pedagang barang bekas dikarenakan waktu itu suka dengan barang bekas untuk dikumpulkan, tetapi lama kemudian jadi tertarik untuk menjual barang bekas yang dikumpulkan itu, tapi pak ngadimin juga pernah bekerja sebagai kondektur bis, tapi tak lama berhenti untuk menjadi kondektur dikarenakan penghasilan yang di dapat cukup di bilang kurang untuk mencukupi keluarganya di waktu itu, ungkap bapak separuh baya ini. Dengan banyaknya pekerjaan yang mungkin bisa di bilang banyak peluang tetapi pak ngadimin ini tidak bisa untuk menekuni bidang lain karena sudah binggung karena terlanjur menekuni pekerjaan sekarang ini, dengan banyaknya persaingan yang semakin lama semakin banyak orang yang berjualan barang bekas, lagian untuk mengembangkan usaha lain juga susah karena tidak punya modal sehingga penghasilan yang didapat sekarang ini juga juga minimal. Tempat dari dulu sampai sekarang juga itu, belum pernah pindah. Kalau mau pindah takutnya kehilangan pelanggan dan mau pindah dimana juga susah cari tempat yang dimana-mana sudah banyak terpakai takut terjadi persaingan. Yang jelas mempertahankan adalah salah satu untuk menculupi kebutuhan hidupnya dan semnagt kerja keras. Kata bapak ini...

Mr.Bakin, si Tukang Reparasi Payung


Sedia payung sebelum hujan, tidak ada payung badan pun kehujanan. Itulah pepatah yang cocok dilontarkan dari mulut Bakin (59). Seorang lelaki yang sudah 35 tahun menjadi tukang reparasi payung di daerah pasar Beringharjo.
Payung rusak jangan lantas dibuang, datang saja kepada Bakin, pria tua ini sanggup mereparasi segala aneka bentuk dan ukurang payung. Hanya cukup dengan Rp.5000, payung rusak kembali bisa dipakai. Keahliannya mereparasi payung didapat dari ayahnya, "Kerja ini ya dari ayah saya, turun-temurun", ucap Bakin, warga Tempel Yogyakarta. Lantas inilah pekerjaannya dan satu-satunya.
Setiap hari, setidaknya 20 biji payung rusak dapat diperbaikinya. Dan setidaknya dia dapat hasil Rp.50.000 masuk kekantongnya. Memang bukan angka yang tinggi, tapi Bakin tetap saja bertahan pada pekerjaan ini. "Kalau musim hujan bisa lebih dari lima puluh ribu, itupun tidak menentu. kalau lagi sepi malah paling cuman dapat sepuluh ribu", lontar bapak 5 orang anak ini. Bukanlah angka yang besar, mengingat Bakin harus menghidupi istri dan 2 orang anak yang masih hidup bersamanya.
Seiring kemajuan jaman, menurutnya lebih banyak orang membuang payung daripada membetulkannya. Mungkin harga payung baru semakin murah. "Kebanyakan orang ingin yang instan mas, rusak buang lantas beli baru", cerita pria berkacamata ini. Namun, walaupun semakin sepi Bakin tetap percaya bahwa reparasi payung masih dibutuhkan. "Mudah-mudahan bisa bertahan, mas. bapak saya saja bisa masak saya tidak bisa. nanti istri anak saya makan apa", candanya sembari meminta ijin untuk melanjutkan memperbaiki payung bertumpuk disekitarnya. Hanya walaupun dengan reparasi payung, Bakin sudah bisa membiayai 3 orang anaknya lulus sekolah tingkat atas. Dan masih ada kebutuhan untuk istri dan 2 anak menunggunya, inilah yang tidak menghentikannya untuk berhenti menjadi si Tukang Reparasi Payung.

Selasa, 28 April 2009

Mencari Kehidupan Dari Tusuk Sate

Asap dan bara api sudah biasa menemani perjalannya mencari nafkah bagi keluarga. Ahmadi (47) asal madura. Berjualan sate di taman Parkir Abu Bakar Ali. Dengan kemeja lusuh dan celana panjang kain pria ini memanggil setiap wisatawan yang lewat.

Ramainya wisatawan dan bus pariwisata yang datang sudah menjadi pemandangn sehari-hari bagi pria ini. Tiap sore hari Ahmadi berjualan sate dengan gerobak yang ia miliki setahun yang lalu. Jika taman parkir sedang sepi ia menjajakan satenya keliling kampong. ”Ya.. nggak disini terus mbak, kalau lagi sepi jualannya keliling kampung.” ucap bapak beranak dua ini. ”Saya biasanya jualan dari jam 6 sore sampai jam 12 malam.” sambungnya.

Penghasilan yang dihasilkan dari berjualan sate tidaklah cukup untuk menghidupi seluruh keluarga. Tidak ada yang bekerja selain pak ahmad. Istrinya dirumah mengurusi anak-anaknya yang masih berada di bangku Sekolah Dasar. ”Penghasilan nggak tentu. Kadang-kadang Cuma dapat 50ribu. Paling besar yang pernah saya dapat 200ribu.” Pria dengan logat Madura yang khas ini mengaku penghasilan paling banyak didapat di akhir pekan katika banyak wisatawan yang berkunjung ke kota Jogjakarta.

Ditengah mahalnya harga-harga barang dan sembako tidaklah membuat pedagang sate asli Madura ini putus asa. Semangat pantang menyerah untuk menghidupi keluarga membuat bapak dua anak ini tetap berjuang mencari nafkah.

Balon, Tumpuan Hidup Samidi


Balon, adalah barang mainan biasa untuk anak-anak. Di tangan Samidi, balon menjadi begitu berarti. Dari barang sederhana itulah Samidi menggantungkan hidupnya. Berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Samidi, begitu panggilan akrab pria berusia 60 tahun ini. Jauh-jauh Samidi datang dari Wonosobo ke Yogyakarta untuk mencari nafkah. Profesinya sebagai pedagang balon mainan di Malioboro sudah digeluti selama kurang lebih 10 tahun. “Sekitar awal tahun 1999, jaman-jamannya krisis moneter itu mbak, saya datang ke Yogyakarta bersama teman-teman saya ari Wonosobo. ”, ungkapnya.
Profesi sebagai pedagang balon bukan merupakan profesi satu-satunya yang pernah digeluti. Menjadi petani juga pernah dijalani pria berkulit sawo matang ini. “Dulu di Wonosobo saya menjadi petani. Saya bersama istri setiap hari mengurus sawah.”, tegasnya. Beralihnya profesi Samidi bukan tidak beralasan. Tuntutan hidup yang semakion barat memaksanya berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih layak lagi. Namun, karena keterbatasan keahlian dan pendidikan akhirnya membawa bapak beranak 3 ini menjadi penjual balon.
Ketiga anaknya sudah bekerja. Hal ini sedikit mampu meringankan beban Samidi. Penghasilannya yang hanya 30 ribu sehari belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan. Istrinya sudah tidak bekerja lagi. Setiap bulan Samidi harus pulang untuk memberi uang kepada istrinya.
Berjualan balon bukan hal yang mudah bagi pria bertubuh kurus ini. Setiap hai Samidi harus berjalan kaki dari tempat tinggalnya di daerah Pingit menuju Malioboro. Rutinitas ini ia jalani mulai dari pukul 6 pagi hingga sore.
Suka duka Samidi sebagi pedagang balon telah memberikan banyak pelajaran. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Samidi terus berjuang menghadapi kerasya hidup ini. Banyak inspirasi yang dapat dipetik dari kisah hidup seorang Samidi. Kerendahan hati menjadi kunci keteguhan menjalani hidup.