Rabu, 27 Mei 2009

Flu Babi Oh Flu Babi

Akhir bulan April 2009 ini, dunia dikejutkan dengan datangnya virus flu babi. Flu babi diperkirakan adalah flu yang mematikan karena perpaduan antara flu burung, flu babi dan manusia. Penyakit ini disinyalir muncul pertama kali di negara Amerika bagian selatan tepatnya di Meksiko. Fenomena ini kemudian membuat pimpinan WHO, Margareth Chan membuat langkah antisipasi kepada dunia. Beliau memaparkan langkah-langkah strategis demi menyikapi pandemi flu babi ini. Flu babi yamg berkode H1N1 telah merenggut banyak korban jiwa. Di meksiko sendiri setidaknya memakan 83 jiwa, dan 1 orang meninggal di USA. Kemudian virus flu babi ini juga menginfeksi 1.516 orang dari seluruh dunia.  
Flu babi terus menjalar kemana saja. Secara tidak langsung, flu babi ini juga telah ikut mengubah tatanan dunia khususnya dalam sector ekonomi. Tidak dipungkiri, banyak maskapai penerbangan yang telah merugi akibat tiket menuju Meksiko akhirnya dibatalkan. Jumlah pengunjung negara tersebut juga menurun drastic. Belum selesai masalah krisis finansial global, dunia dibuat repot oleh hadirnya pandemi flu babi yang ternyata membawa dampak cukup hebat, tidak hanya bag dunia kesehatan namun juga perekonomian.  


Selasa, 12 Mei 2009

Pemilu dan Kapitalisme Media

Kapitalisme media telah menggeser fungsi media sebenarnya. Yaitu sebagai saluran informasi, pendidikan, dan juga hiburan. Namun dimasa pemilu media telah dipenuhi iklan-iklan partai politik yang tidak sedikit mengeluarkan dana. Apakah media hanya mementingkan keuntungan semata?

Masa kampanye lalu dimana partai politik banyak mengeluarkan dana untuk belanja iklannya disambut baik oleh media massa. Bagaimana tidak? Dari belanja iklan itulah media mendapatkan cukup banyak keuntungan. Bahkan salah satu TV swasta sempat diperingatkan karena terlalu sring menampilkan iklan salah satu partai baru.

Memang benar keuntungan media salah satunya didapat dari iklan. Iklan-iklan partai politik menghabiskan bermilyar rupiah. Partai Golkar menghabiskan Rp. 5 Milyar dan Gerindra mengeluarkan rata-rata Rp. 9 milyar untuk belanja iklannya. Siapa yang akan menolak tawaran besar ini. Namun terkadang masyrakat mendapatkan kesan bahwa stasiun TV memihak kepada salah satu partai. Hal ini tidak baik karena akan berpengaruh kepada reputasi media. Media seharusnya bisa netral.

Tidak mudah memang menolak proyek jutaan bahkan milyaran rupiah. Untuk itu adanya aturan-aturan yang membatasi media dalam menayangkan iklan parpol. Sehingga porsi berita dan iklan bisa seimbang. Disisi lain media harus kembali pada ideologi media itu sendiri. Tidak hanya memikirkan keuntungan semata tapi berpihak kepada rakyat. Rakyat membutuhkan informasi mengenai caleg yang berkualitas. Bukan hanya iklan-iklan yang mengobral janji.

Rabu, 06 Mei 2009

Koalisi yang Rapuh

Persaingan politik kian memanas seiring dengan semakin dekatnya pemilihan presiden pada bulan Juli mendatang dan banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti. Ranah politik seakan sedang mengalami peperangan yang sengit.

Mereka berlomba-lomba membentuk koalisi demi tercapainya ambisi menjadi penguasa negeri ini. Apalagi dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan presiden dan wakilnya misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.
Partai-partai besar seperti PDI-P, Golkar, Gerindra, Hanura, PPP, PAN mulai merapatkan barisan membentuk koalisi besar enam partai untuk menantang koalisi Pro-Cikeas. Namun koalisi besar tersebut terancam buyar, enam partai yang semula hendak menantang SBY tidak menemukan titik temu, apalagi setelah Golkar dan Hanura mendeklarasikan pasangan Jk-Wiranto.
Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri, dan tahan lama. Tetapi, semua partisipan berlomba untu menjadi pemenang, tanpa memperhatikan bahwa rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisi lainnya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi perpecahan, berbalik melawan.
Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.
Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-Hanura saat ini, koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai besar sehingga mudah mencapai suara mayoritas. Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi.
Pemilu seharusnya merupakan jalan bagi Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah. Dengan mempunyai wakil rakyat pilihan yang berkualitas, berdedikasi penuh kepada rakyatnya, dan membangun pemerintahan yang kuat, mensejahterakan rakyat. Bukannya malah dijadikan ajang permainan politik yang penuh dengan intrik dan hanya berorientasi pada kekuasaan semata.

Selasa, 05 Mei 2009

Koalisi, Kemana Arahnya?

Koalisi, Kemana Arahnya?

Pemilu presiden yang akan dilaksanakan ternyata mengundang berbagai macam polemik dikalangan elite politik. Partai-partai yang saling berkoalisi sepertinya malah tidak memberikan suatu penyelesaian yang berupa kerja sama.

Seperti halnya partai golkar yang pada awalnya bersekutu dengan partai democrat pada akhirya ‘bercerai’. Kemudian golkar mengambil langkah yang tidak terduga dengan merapat ke kubu megawati. Namun pada akhirnya Jusuf Kalla justru berkoalisi dengan Wiranto uang di usung sebagi Cawapresnya. Manuver-manuver politik semacam itulah yang terjadi sekarang ini. Situasi yang tidak menentu dan rancu menimbulkan kesan yang rumit kepada masyarakat. Tak heran, masyarakat menjadi apathies akan tingkah polah para petingginya.

Manuver politik dilakukan dalam upaya untuk menghimpun kekuatan untuk kemenangan dalam Pemilu presiden Juli mendatang. Namun, pada kenyataannya kesan yang ditimbulkan adalah sikap tidak konsisten partai politik atas statement-statement yang muncul.

Lalu sebenarnya mau ke arah mana koalisi ini. Sebagai elite politik yang memiliki tanggung jawab atas masa depan WNI, seyogyanya mereka harus mengambil langkah bijaksana. Hal ini sangat berkaitan dengan kredibilitas partai politik itu sendiri. Timbulnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap partai politi yang berkoalisi berdampak pada kesuksesan dalam Pemilu presiden mendatang. Seharusnya para Capres dan Cawapres yang saling berkoalisi bisa mengambil langkah yang bijak dan jelas.